Air Tanah Sumur Artesis, Debitnya Tergantung Resapan Air
Air Tanah Sumur Artesis, Debitnya Tergantung Resapan Air
Air merupakan bagian terbesar dari kehidupan manusia. Setiap kegiatan yang dilakukan pada keseharian manusia tidak terlepas dari fungsi dan manfaat air, mulai untuk diminum, digunakan mandi dan mencuci, hingga sebagai bagian dari produksi industri. Karena itu, tak heran bila krisis air dianggap sebagai momok yang menakutkan.
Demikian pula yang terjadi di Bandung dan sekitarnya. Krisis air mulai membayangi hidup dari kota berpenduduk 2,6 juta jiwa ini. Pertumbuhan jumlah penduduk di Bandung yang lebih dari 2 persen per tahun menyebabkan pasokan air bersih yang tersedia tidak bisa mencukupi kebutuhan masyarakatnya yang terus bertambah. Akibatnya, pencarian sumber-sumber air alternatif seperti sumur artesis (air tanah dalam) pun jadi pilihan penduduk untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Hal ini pula yang dirasakan dan dilakukan penduduk di Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.
"Penduduk di daerah ini terus bertambah. Padahal, kelurahan ini ini termasuk daerah krisis air, apalagi kalau musim kemarau," ujar Seda Supriyatna (47), salah seorang pengelola bak penampung air di daerah RW 10 RT 3 Awiligar, Kelurahan Cibeunying, Kabupaten Bandung.
Setiap tahun, kata Seda, ada saja jumlah penduduk yang pindah ke daerah Awilegar, baik orang kota yang kena gusur ataupun penduduk luar Bandung yang baru pindah. Bahkan, berkisar 80 persen warga di kelurahan ini adalah pendatang. Akibatnya, kebutuhan air bersih setiap tahun terus meningkat, tetapi debit air yang mampu dihasilkan sumur artesis di tempat itu cenderung berkurang tiap tahunnya. Oleh karena itu, Kepala Pengelola Air Bersih PT Tirta Ligar Budi Winarno mengatakan, perlu dicari sumber air baru yang bisa memenuhi kebutuhan penduduk di Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.
Punggung bukit
Sebenarnya, dilihat dari jarak, kelurahan itu bisa dibilang tidak jauh dari pusat Kota Bandung, hanya sekitar 10 kilometer ke arah timur laut, tepat di perbatasan Bandung dan Kabupaten Bandung. Namun, topografi dan hidrogeologi daerah itu yang terletak di punggung bukit mengakibatkan daerah itu sulit mendapatkan air. Terlebih lagi, letak Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Bandung sangat jauh dari kelurahan ini.
"Sebenarnya di sini banyak sumur artesis yang dibuat penduduk dan airnya dijual kepada warga di sekitarnya. Sedikitnya ada tiga sumur, salah satunya dikelola Tirta Ligar. Pelanggan Tirta Ligar sendiri berjumlah 140 keluarga," kata Budi.
Menurut Budi, kebutuhan air bersih warga di daerah Awiligar sekitar 0,86 m3 per hari, sedangkan yang mampu dipenuhi hanya sekitar 0,61 m3 per hari. Pasalnya, debit air di sumur artesis milik Tirta Ligar sedalam 150 meter itu makin berkurang. Saat pertama kali dibangun tahun 2003, debitnya 3 liter per detik, dan kini hanya 1 liter per detik. Akibatnya, pelanggan terpaksa bergiliran untuk mendapat aliran air.
Turunnya debit air di sumur itu, kata Budi, dikarenakan pembangunan yang kian marak di kawasan Bandung utara yang merupakan daerah resapan air tanah. "Selain itu, bangunan-bangunan (yang) dimiliki oleh masyarakat kalangan atas sebagian besar memiliki sumur bor (artesis) sendiri sehingga debit air yang mengalir ke bawah jadi berkurang dan sering macet," ujar Budi.
Tirta Ligar yang dibangun dengan bantuan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung itu merupakan satu dari sekian banyak pengelola sumur artesis yang dibisniskan. Pengguna air bersih dari sumur artesis, kata Rison, Bendahara Tirta Ligar, ada yang berlangganan atau membeli eceran.
Setidaknya, jelas Rison, yang juga staf Kelurahan Cibeunying, hanya 10 persen warga Awiligar yang memanfaatkan air bersih dari PDAM Kota Bandung, 40 persen memanfaatkan sumur artesis, dan sisanya mengandalkan sumur pribadi atau sumber mata air di daerah tersebut. "Air PDAM tidak bisa naik ke daerah itu karena terlalu tinggi. Jika bisa, debitnya juga kecil," Rison menambahkan.
Pelanggan rumahan setiap bulannya dikenakan biaya abonemen sebesar Rp 10.000. Sementara itu, tarif pemakaian bersifat progresif, yaitu pemakaian air 0-10 m3 dikenakan biaya Rp 2.000 per m3, 10-20 m3 tarifnya Rp 2.450 per m3, 20-30 m3 tarifnya Rp 2.900 per m3, sedangkan pemakaian di atas 30 m3 dikenakan tarif Rp 3.900 per m3.
Biaya awal pemasangan adalah Rp 1,5 juta untuk yang dicicil 5 kali, sedangkan pelanggan yang membayar tunai hanya dikenakan biaya Rp 1,25 juta. "Awalnya hanya ada 10 pelanggan, sekarang sudah sekitar 140 pelanggan. Rata-rata mereka membayar Rp 20.000-Rp 30.000 per bulannya," tutur Rison.
Sebenarnya ada sumber mata air yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dengan bebas, namun jaraknya cukup jauh, sekitar 300 meter dari permukiman penduduk dengan jalan yang curam untuk bisa mencapainya. "Jadi, orang sekarang lebih memilih beli air daripada jauh-jauh ambil air ke bawah dan waktunya lama. Belum lagi capai karena memanggul air dari bawah ke atas," kata Seda. (Timbuktu HarThana)
Air merupakan bagian terbesar dari kehidupan manusia. Setiap kegiatan yang dilakukan pada keseharian manusia tidak terlepas dari fungsi dan manfaat air, mulai untuk diminum, digunakan mandi dan mencuci, hingga sebagai bagian dari produksi industri. Karena itu, tak heran bila krisis air dianggap sebagai momok yang menakutkan.
Demikian pula yang terjadi di Bandung dan sekitarnya. Krisis air mulai membayangi hidup dari kota berpenduduk 2,6 juta jiwa ini. Pertumbuhan jumlah penduduk di Bandung yang lebih dari 2 persen per tahun menyebabkan pasokan air bersih yang tersedia tidak bisa mencukupi kebutuhan masyarakatnya yang terus bertambah. Akibatnya, pencarian sumber-sumber air alternatif seperti sumur artesis (air tanah dalam) pun jadi pilihan penduduk untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Hal ini pula yang dirasakan dan dilakukan penduduk di Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.
"Penduduk di daerah ini terus bertambah. Padahal, kelurahan ini ini termasuk daerah krisis air, apalagi kalau musim kemarau," ujar Seda Supriyatna (47), salah seorang pengelola bak penampung air di daerah RW 10 RT 3 Awiligar, Kelurahan Cibeunying, Kabupaten Bandung.
Setiap tahun, kata Seda, ada saja jumlah penduduk yang pindah ke daerah Awilegar, baik orang kota yang kena gusur ataupun penduduk luar Bandung yang baru pindah. Bahkan, berkisar 80 persen warga di kelurahan ini adalah pendatang. Akibatnya, kebutuhan air bersih setiap tahun terus meningkat, tetapi debit air yang mampu dihasilkan sumur artesis di tempat itu cenderung berkurang tiap tahunnya. Oleh karena itu, Kepala Pengelola Air Bersih PT Tirta Ligar Budi Winarno mengatakan, perlu dicari sumber air baru yang bisa memenuhi kebutuhan penduduk di Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.
Punggung bukit
Sebenarnya, dilihat dari jarak, kelurahan itu bisa dibilang tidak jauh dari pusat Kota Bandung, hanya sekitar 10 kilometer ke arah timur laut, tepat di perbatasan Bandung dan Kabupaten Bandung. Namun, topografi dan hidrogeologi daerah itu yang terletak di punggung bukit mengakibatkan daerah itu sulit mendapatkan air. Terlebih lagi, letak Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Bandung sangat jauh dari kelurahan ini.
"Sebenarnya di sini banyak sumur artesis yang dibuat penduduk dan airnya dijual kepada warga di sekitarnya. Sedikitnya ada tiga sumur, salah satunya dikelola Tirta Ligar. Pelanggan Tirta Ligar sendiri berjumlah 140 keluarga," kata Budi.
Menurut Budi, kebutuhan air bersih warga di daerah Awiligar sekitar 0,86 m3 per hari, sedangkan yang mampu dipenuhi hanya sekitar 0,61 m3 per hari. Pasalnya, debit air di sumur artesis milik Tirta Ligar sedalam 150 meter itu makin berkurang. Saat pertama kali dibangun tahun 2003, debitnya 3 liter per detik, dan kini hanya 1 liter per detik. Akibatnya, pelanggan terpaksa bergiliran untuk mendapat aliran air.
Turunnya debit air di sumur itu, kata Budi, dikarenakan pembangunan yang kian marak di kawasan Bandung utara yang merupakan daerah resapan air tanah. "Selain itu, bangunan-bangunan (yang) dimiliki oleh masyarakat kalangan atas sebagian besar memiliki sumur bor (artesis) sendiri sehingga debit air yang mengalir ke bawah jadi berkurang dan sering macet," ujar Budi.
Tirta Ligar yang dibangun dengan bantuan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung itu merupakan satu dari sekian banyak pengelola sumur artesis yang dibisniskan. Pengguna air bersih dari sumur artesis, kata Rison, Bendahara Tirta Ligar, ada yang berlangganan atau membeli eceran.
Setidaknya, jelas Rison, yang juga staf Kelurahan Cibeunying, hanya 10 persen warga Awiligar yang memanfaatkan air bersih dari PDAM Kota Bandung, 40 persen memanfaatkan sumur artesis, dan sisanya mengandalkan sumur pribadi atau sumber mata air di daerah tersebut. "Air PDAM tidak bisa naik ke daerah itu karena terlalu tinggi. Jika bisa, debitnya juga kecil," Rison menambahkan.
Pelanggan rumahan setiap bulannya dikenakan biaya abonemen sebesar Rp 10.000. Sementara itu, tarif pemakaian bersifat progresif, yaitu pemakaian air 0-10 m3 dikenakan biaya Rp 2.000 per m3, 10-20 m3 tarifnya Rp 2.450 per m3, 20-30 m3 tarifnya Rp 2.900 per m3, sedangkan pemakaian di atas 30 m3 dikenakan tarif Rp 3.900 per m3.
Biaya awal pemasangan adalah Rp 1,5 juta untuk yang dicicil 5 kali, sedangkan pelanggan yang membayar tunai hanya dikenakan biaya Rp 1,25 juta. "Awalnya hanya ada 10 pelanggan, sekarang sudah sekitar 140 pelanggan. Rata-rata mereka membayar Rp 20.000-Rp 30.000 per bulannya," tutur Rison.
Sebenarnya ada sumber mata air yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dengan bebas, namun jaraknya cukup jauh, sekitar 300 meter dari permukiman penduduk dengan jalan yang curam untuk bisa mencapainya. "Jadi, orang sekarang lebih memilih beli air daripada jauh-jauh ambil air ke bawah dan waktunya lama. Belum lagi capai karena memanggul air dari bawah ke atas," kata Seda. (Timbuktu HarThana)
0 comments:
Post a Comment