Memperbanyak Sumur Biopori
Memperbanyak Sumur Biopori
Sebelum terlambat, Wali Kota Bogor pun berikrar. ''Harus ada yang dilakukan agar kondisi itu tidak semakin parah,'' kata Diani Budiarto, sang wali kota, meneguhkan tekadnya.
Selama ini, Diani mencermati data Departemen Pekerjaan Umum. Data itu menyebutkan masih adanya 100 juta penduduk Indonesia yang kesulitan mendapatkan air bersih. Selain itu, 70 persen penduduk Indonesia pun masih mengonsumsi air minum yang tercemar. Ia juga membaca laporan World Water Forum yang menyebut Indonesia sebagai salah satu negara yang akan mengalami krisi air bersih. Penyebab utamanya, tentu saja kerusakan lingkungan.
''Sebenarnya kalau masyarakat Kota Bogor, bisa saya bilang untuk saat ini masih terbebas dari ancaman kesulitan air. Tapi, kan saya juga memikirkan masyarakat lainnya, termasuk daerah Jakarta, di mana pasokan airnya juga banyak dari wilayah Bogor,'' kata Diani, Senin (28/5).
Apalagi, setiap terjadi banjir di Jakarta, Bogor selalu disalahkan. ''Padahal, kota Bogor tidak pernah menyumbang banjir ke Jakarta,'' kata Diani. ''Kota Bogor hanya merupakan perlintasan air yang datang dari hulu,'' lanjutnya.
Tawaran dari IPB
Meski ia bertekad berbuat sesuatu, cukup lama ia belum menemukan cara tepat. Hingga suatu ketika, tim dari Institut Pertanian Bogor (IPB), yang dipimpin Dr Khamir R Brata, datang menawarkan konsep sumur biopori, yang diyakini mampu membantu air hujan masuk ke dalam tanah. Sumur berdiameter 10 cm dengan kedalaman 80 cm itu juga bisa menjadi solusi mengatasi masalah sampah. ''Setelah kami pelajari, dan logikanya masuk, kenapa tidak kita coba,'' kata Diani.
Namun, ia mengakui konsep biopori masih menjadi perdebatan para ahli lingkungan hidup mengenai efektif-tidaknya meningkatkan resapan air. Tapi, Diani tak membuang waktu. Bertepatan dengan Hari Bumi 22 April 2007 ia mencanangkan pembuatan sumur bipori di Kota Bogor sebanyak 5.250. Ini angka untuk memperingati Hari Jadi Kota Bogor yang pada 2007 ini menginjak angka 525 tahun.
Sumur ini dibuat tersebar di 21 kelurahan di enam kecamatan. Pada 3 Juni 2007, tepat hari jadi Kota Bogor, Diani berharap sudah ada 22.407 sumur bipori di Kota Bogor. Ini jumlah yang mengingatkan pada Hari Bumi, saat Diani mencanangkan pembuatan sumur biopori.
Saat pencanganan di Lapangan Sempur, Bogor, Rektor IPB, Achmad Ansyori Matjik, ikut menyaksikan. Diani berprinsip pencanangan harus juga diupayakan untuk sekaligus kempanye lingkungan kepada masyarakat. Maka, saat itu, sedikitnya 4.000 orang dilibatkan dalam pembuatan sumur bipori itu. Sebanyak 1.500 di antaranya merupakan mahasiswa IPB. Sebanyak 1.500 lagi merupakan pelajar SMA dan SMK di Kota Bogor. Pegawai Pemerintah Kota ada 500 orang yangd ilibatkan, dan 500 orang lagi merupakan remaja anggota pramuka.
Selain itu, dilibatkan pula warga dan pegawai kelurahan. ''Setiap kelurahan membantu 10 bor, dan pembuatannya dilakukan oleh mahasiswa serta warga setempat yang dikoordinasi oleh para lurah,'' ujar Diani. Selesai dibuat, sampah-sampah organik lantas dimasukkan ke sumur biopori itu. sampah-sampah inilah yang diharapkan menjadi makanan mkahluk hidup di dalam tanah, seperti cacing. Cacing nantinya akan membuat lubang-lubang kecil (biopori), dan kemudian menjadi resapan air yang baik. Idealnya dalam setiap 100 meter persegi lahan dibuatkan sekitar 24 sumur biopori.
Diani memprioritaskan pembuatan sumur biopori di daerah padat penduduk. Ia mengatakan perbandingan antara bangunan dan lahan terbuka hijau sudah tidak ideal lagi. ''Sekarang perbandingannya tinggal 30 lahan terbuka hijau dan 70 persen bangunan. Padahal minimalnya adalah 40:60 persen,'' ujar dia.
Penanam pohon
Diani pun sempat mengemukakan keprihatinannya terhadap kerusakan lingkungan karena ulah manusia di forum internasional. Pada 5-11 Mei 2007, ia menghadiri pertemuan ke-15 Komisi Pembangunan Berkelanjutan (Fifteenth Session of the Commission on Sustainable Development, CSD-15) di New York, Amerika Serikat. Bogor termasuk anggota CSD, selain Medan, Cilegon, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Balikpapan.
Diani merupakan satu-satunya wakil dari Indonesia pada forum yang dihadiri perwakilan dari 60 negara itu. ''Dalam pertemuan ini, pembahasan lebih fokus pada masalah pemanasan global,'' katanya. Dalam pertemuan tersebut, Diani mengemukakan berbagai permasalahan di Kota Bogor dalam hal pemanasan global. Menurut alumnus APDN dan IIP ini, pemanasan global lebih disebabkan oleh ulah manusia, seperti pencemaran udara karbon dioksida (CO2) oleh ribuan angkutan kota (angkot) di kota Bogor.
Untuk mengatasi pencemaran CO2 ini, Pemkot Bogor telah membuat sejumlah kebijakan. Di antaranya pembatasan umur angkot, mengganti angkot dengan minibus, mengurangi penggunaan mobil pribadi ke sekolah dengan menyediakan bus sekolah, serta menambah subterminal angkot. ''Hal-hal ini saya kemukakan di forum tersebut sekaligus untuk mendapat masukan dari peserta lain,'' ujar Diani.
Untuk mengatasi CO2, Diani pun menginstruksikan kepada jajarannya serta mengharapkan bantuan masyararat untuk melakukan penanaman pohon di ruang kosong. Ini juga sekaligus upaya untuk memperbesar potensi resapan air.
Data Dinas Tata Kota dan Pertanaman Pemkot Bogor menunjukkan dari 278 pohon besar di pinggir jalan raya, sebanyak 224 pohon sudah berisiko tumbang. Sudah rapuh dimakan usia. ''Kami baru mampu menangani pohon yang rusak itu sekitar 55 pohon. Masih ada 223 pohon yang berisiko tumbang yang harus segera ditangani,'' kata Kepala Bidang Pertamanan, Erna Hernawati. khoirul azwar
Sebelum terlambat, Wali Kota Bogor pun berikrar. ''Harus ada yang dilakukan agar kondisi itu tidak semakin parah,'' kata Diani Budiarto, sang wali kota, meneguhkan tekadnya.
Selama ini, Diani mencermati data Departemen Pekerjaan Umum. Data itu menyebutkan masih adanya 100 juta penduduk Indonesia yang kesulitan mendapatkan air bersih. Selain itu, 70 persen penduduk Indonesia pun masih mengonsumsi air minum yang tercemar. Ia juga membaca laporan World Water Forum yang menyebut Indonesia sebagai salah satu negara yang akan mengalami krisi air bersih. Penyebab utamanya, tentu saja kerusakan lingkungan.
''Sebenarnya kalau masyarakat Kota Bogor, bisa saya bilang untuk saat ini masih terbebas dari ancaman kesulitan air. Tapi, kan saya juga memikirkan masyarakat lainnya, termasuk daerah Jakarta, di mana pasokan airnya juga banyak dari wilayah Bogor,'' kata Diani, Senin (28/5).
Apalagi, setiap terjadi banjir di Jakarta, Bogor selalu disalahkan. ''Padahal, kota Bogor tidak pernah menyumbang banjir ke Jakarta,'' kata Diani. ''Kota Bogor hanya merupakan perlintasan air yang datang dari hulu,'' lanjutnya.
Tawaran dari IPB
Meski ia bertekad berbuat sesuatu, cukup lama ia belum menemukan cara tepat. Hingga suatu ketika, tim dari Institut Pertanian Bogor (IPB), yang dipimpin Dr Khamir R Brata, datang menawarkan konsep sumur biopori, yang diyakini mampu membantu air hujan masuk ke dalam tanah. Sumur berdiameter 10 cm dengan kedalaman 80 cm itu juga bisa menjadi solusi mengatasi masalah sampah. ''Setelah kami pelajari, dan logikanya masuk, kenapa tidak kita coba,'' kata Diani.
Namun, ia mengakui konsep biopori masih menjadi perdebatan para ahli lingkungan hidup mengenai efektif-tidaknya meningkatkan resapan air. Tapi, Diani tak membuang waktu. Bertepatan dengan Hari Bumi 22 April 2007 ia mencanangkan pembuatan sumur bipori di Kota Bogor sebanyak 5.250. Ini angka untuk memperingati Hari Jadi Kota Bogor yang pada 2007 ini menginjak angka 525 tahun.
Sumur ini dibuat tersebar di 21 kelurahan di enam kecamatan. Pada 3 Juni 2007, tepat hari jadi Kota Bogor, Diani berharap sudah ada 22.407 sumur bipori di Kota Bogor. Ini jumlah yang mengingatkan pada Hari Bumi, saat Diani mencanangkan pembuatan sumur biopori.
Saat pencanganan di Lapangan Sempur, Bogor, Rektor IPB, Achmad Ansyori Matjik, ikut menyaksikan. Diani berprinsip pencanangan harus juga diupayakan untuk sekaligus kempanye lingkungan kepada masyarakat. Maka, saat itu, sedikitnya 4.000 orang dilibatkan dalam pembuatan sumur bipori itu. Sebanyak 1.500 di antaranya merupakan mahasiswa IPB. Sebanyak 1.500 lagi merupakan pelajar SMA dan SMK di Kota Bogor. Pegawai Pemerintah Kota ada 500 orang yangd ilibatkan, dan 500 orang lagi merupakan remaja anggota pramuka.
Selain itu, dilibatkan pula warga dan pegawai kelurahan. ''Setiap kelurahan membantu 10 bor, dan pembuatannya dilakukan oleh mahasiswa serta warga setempat yang dikoordinasi oleh para lurah,'' ujar Diani. Selesai dibuat, sampah-sampah organik lantas dimasukkan ke sumur biopori itu. sampah-sampah inilah yang diharapkan menjadi makanan mkahluk hidup di dalam tanah, seperti cacing. Cacing nantinya akan membuat lubang-lubang kecil (biopori), dan kemudian menjadi resapan air yang baik. Idealnya dalam setiap 100 meter persegi lahan dibuatkan sekitar 24 sumur biopori.
Diani memprioritaskan pembuatan sumur biopori di daerah padat penduduk. Ia mengatakan perbandingan antara bangunan dan lahan terbuka hijau sudah tidak ideal lagi. ''Sekarang perbandingannya tinggal 30 lahan terbuka hijau dan 70 persen bangunan. Padahal minimalnya adalah 40:60 persen,'' ujar dia.
Penanam pohon
Diani pun sempat mengemukakan keprihatinannya terhadap kerusakan lingkungan karena ulah manusia di forum internasional. Pada 5-11 Mei 2007, ia menghadiri pertemuan ke-15 Komisi Pembangunan Berkelanjutan (Fifteenth Session of the Commission on Sustainable Development, CSD-15) di New York, Amerika Serikat. Bogor termasuk anggota CSD, selain Medan, Cilegon, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Balikpapan.
Diani merupakan satu-satunya wakil dari Indonesia pada forum yang dihadiri perwakilan dari 60 negara itu. ''Dalam pertemuan ini, pembahasan lebih fokus pada masalah pemanasan global,'' katanya. Dalam pertemuan tersebut, Diani mengemukakan berbagai permasalahan di Kota Bogor dalam hal pemanasan global. Menurut alumnus APDN dan IIP ini, pemanasan global lebih disebabkan oleh ulah manusia, seperti pencemaran udara karbon dioksida (CO2) oleh ribuan angkutan kota (angkot) di kota Bogor.
Untuk mengatasi pencemaran CO2 ini, Pemkot Bogor telah membuat sejumlah kebijakan. Di antaranya pembatasan umur angkot, mengganti angkot dengan minibus, mengurangi penggunaan mobil pribadi ke sekolah dengan menyediakan bus sekolah, serta menambah subterminal angkot. ''Hal-hal ini saya kemukakan di forum tersebut sekaligus untuk mendapat masukan dari peserta lain,'' ujar Diani.
Untuk mengatasi CO2, Diani pun menginstruksikan kepada jajarannya serta mengharapkan bantuan masyararat untuk melakukan penanaman pohon di ruang kosong. Ini juga sekaligus upaya untuk memperbesar potensi resapan air.
Data Dinas Tata Kota dan Pertanaman Pemkot Bogor menunjukkan dari 278 pohon besar di pinggir jalan raya, sebanyak 224 pohon sudah berisiko tumbang. Sudah rapuh dimakan usia. ''Kami baru mampu menangani pohon yang rusak itu sekitar 55 pohon. Masih ada 223 pohon yang berisiko tumbang yang harus segera ditangani,'' kata Kepala Bidang Pertamanan, Erna Hernawati. khoirul azwar
0 comments:
Post a Comment