Pelesiran Banten Lama
Pelesiran Banten Lama
Keraton 'Air' dan Menara 'Naik-Turun'
Pergi ke Banten Lama berarti menjumpai dua situs terkenalnya yakni Keraton Surosowan dan Masjid Agung Banten.
Udara khas pesisir pantai yang panas dan kering langsung menyengat ketika aku turun dari angkutan kota (angkot) di kawasan Banten Lama (Old Bantam, jika kita merujuk pada sumber-sumber tertulis masa lalu), Serang, Jawa Barat, awal bulan lalu. Matahari tengah berada di puncak siang.
''Belum berubah,'' kataku dalam hati. Terakhir kali aku ke Banten Lama adalah 10 tahun lalu, bersama rombongan Keluarga Mahasiswa Arkeologi (KAMA) Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia. Kala itu, kami mengadakan pelatihan kunjungan situs. Nah, kali ini aku berniat keliling Oud Bantam (biasa disebut dalam buku-buku tua Bahasa Belanda) kembali.
Di dekat tempat pemberhentian angkot, tampak bekas-bekas kemegahan situs Keraton Kaibon. Keraton ini tadinya tempat tinggal ibunda sultan penguasa Banten. Kaibon malah diambil dari kata ka-ibu-an. Keraton ini dibangun semasa pemerintahan Sultan Syafiuddin (sekitar 1809-1815). Gapuranya yang tinggi dan berwarna putih menyembul di tengah-tengah reruntuhan dinding keraton. Salah satu kekhasan gapura di Kaibon adalah bentuknya yang menyerupai sayap bertumpuk-tumpuk. Dan siang itu, Kaibon terasa lengang.
Aku ditemani karibku, arkeolog yang bekerja di salah satu instansi pemerintah di Banten, Bayu Aryanto, untuk pelesiran di situs Banten Lama. Setelah membayar ongkos angkot delapan ribu rupiah untuk dua orang, kami bergegas memasuki pusat Kota Banten Lama yang terletak sekitar lima ratus meter dari pemberhentian tadi. Samar-samar terdengar suara azan Dzuhur berkumandang di sekeliling kami.
Pergi ke Banten Lama berarti menjumpai dua situs terkenalnya, yaitu Keraton Surosowan dan Masjid Agung Banten beserta menaranya. Keraton Surosowan adalah situs yang pertama kali terlihat ketika memasuki kawasan Banten Lama. Dindingnya tinggi, lebih dari dua meter dengan lebar sekitar tujuh meter, berwana cokelat. Sangat kontras dengan bangunan warung dan rumah penduduk di sekitarnya. Asal tahu saja, banyak rumah penduduk di sana yang masih berdinding gedek.
Jangan bayangkan Surosowan layaknya keraton di Jawa Tengah, yaitu Yogyakarta dan Solo. Kita pasti akan kecele. Surosowan tak ada mirip-miripnya dengan dua keraton itu. Ia lebih mirip sebuah benteng Belanda yang kokoh dengan bastion (sudut benteng yang berbentuk intan) di empat sudut bangunannya. Total luas bangunan berdenah persegi panjang ini sekitar tiga hektar, bangunan di dalam dinding keraton tak ada lagi yang utuh. Ia hanya menyisakan runtuhan dinding dan pondasi kamar-kamar berdenah persegi empat yang jumlahnya puluhan.
Sejarah mencatat, nama Keraton Surosowan muncul pada abad ke-17. Namun, sebagai bangunan, Surosowan sudah ada jauh sebelum itu. Pembangunannya melalui beberapa tahap dari 1552-1570, termasuk melibatkan ahli bangunan asal Belanda, yaitu Hendrik Lucaszoon Cardeel. Aku dan Bayu memasuki Surosowan dari pintu utara. Keraton yang didirikan Sultan Maulana Hasanuddin (anak dari Syarif Hidayatullah, tokoh yang mendirikan cikal bakal Jakarta) ini memiliki tiga gerbang masuk, masing-masing terletak di sisi utara, timur, dan selatan. Namun, pintu selatan telah ditutup dengan tembok, entah apa sebabnya.
Bayu menerangkan, hal unik dari gerbang di Surosowan adalah bentuknya yang melengkung dengan atap setengah silinder terbuat dari bata kokoh. ''Apa uniknya? Perasaan kok biasa-biasa saja,'' tanyaku pada dia. Jika kita melihatnya dalam konteks kekinian memang mungkin tak ada yang aneh. Tapi Surosowan adalah bangunan yang didirikan dengan beragam fungsi. Salah satunya adalah benteng. Tujuan didirikan benteng adalah melindungi penghuni dari serangan orang di luar.
Kalau prinsip ini diterapkan ke gerbang melengkung Surosowan memang pas. Sebab, dengan dibuat melengkung, orang luar tidak bisa melihat langsung ke dalam keraton. Pandangannya akan terhalang tembok melengkung itu.
Keraton Air
''Surosowan adalah keraton air,'' celetuk Bayu sambil tertawa, ketika kami sudah memasuki bagian dalam keraton. Pria berkacamata tebal dengan postur sedang dan jenggot kasar ini menunjuk ke bagian tengah keraton. Di sana terlihat sebuah bangunan kolam berisi air berwarna hijau, yang didapat dari pengaruh ganggang dan lumut. Keraton air? Istilah ini menandai banyaknya ruang di dalam keraton yang berhubungan dengan air atau mandi-mandi, alias petirtaan. Salah satu yang terpopuler adalah bekas kolam taman, bernama Bale Kambang Rara Denok, yang ditunjuk Bayu itu.
Kolam Rara Denok berbentuk persegi empat menyerupai setengah lapangan bulutangkis, dengan panjang 30 meter dan lebar 13 meter serta kedalaman kolam 4,5 meter. Di panas terik itu aku membayangkan, dahulu kala para puteri sultan dan dayang-dayangnya dengan hanya mengenakan selembar batik di tubuhnya, mandi dan bermain air di dalam kolam itu. Sementara sang sultan atau pejabat keraton lainnya dengan santai menonton dari atas kolam. Walaah!
Lamunan sekilas itu tiba-tiba buyar, karena datang tiga orang anak kecil, tampaknya penghuni sekitar ke Rara Denok. Tanpa mempedulikan sekitar, mereka langsung membuka pakaian dan byuurr, berenang di kolam yang airnya entah bersih atau tidak itu. Aku dan Bayu tertawa ngakak melihat kepolosan mereka. Masalah air di Surosowan memang sengaja dibuat canggih. Bahkan, kesultanan Banten sengaja memisahkan air untuk keperluan kerajaan dengan air untuk rakyat jelata. Ada dua sumber air di Surosowan yaitu sumur dan Danau Tasikardi yang terletak sekitar dua kilometer di sebelah tenggara Surosowan.
Jangan salah, Tasikardi adalah danau buatan seluas 6,5 hektar dengan pulau di tengahnya. Dasar danaunya dibuat dari ubin bata. Ia dibangun oleh Sultan Maulana Yusuf untuk rekreasi dan ibadah. Tasikardi juga berfungsi sebagai penampung air Sungai Cibanten untuk disalurkan dan dibersihkan sebelum masuk ke Surosowan untuk selanjutnya dipakai mandi dan keperluan sehari-hari.
Proses penjernihannya pun canggih. Sebelum masuk ke Surosowan, air yang kotor dan keruh dari Tasikardi disalurkan dan disaring melalui tiga bangunan bernama Pengindelan Putih, Abang, dan Emas. Di tiap pengindelan ini, air diproses dengan mengendapkan dan menyaring kotoran. Air selanjutnya mengalir ke Surosowan lewat serangkaian pipa panjang yang terbuat dari tanah liat dengan diameter 2-40 cm. Tebak siapa yang punya ide canggih menyaring air ini? Lagi-lagi Cardeel.
Siang itu, banyak orang bercengkerama di dalam Surosowan. Beberapa keluarga dan muda-mudi menggelar tikar di sisi barat keraton, yang dinaungi beberapa pohon rindang. Mereka terlihat menikmati sisa kejayaan Surosowan yang pernah dua kali diluluhlantakkan oleh Belanda, yaitu pada 1680-1863.
Sayangnya di beberapa tempat masih terlihat ceceran sampah. Ada bekas bungkus makanan, botol minuman, juga puntung rokok. Sampah terkumpul di sekitar pohon yang ada di sisi barat keraton, terutama di pojok dinding. Tidak adanya tempat sampah di dalam keraton membuat orang seenaknya saja mengotori bangunan bersejarah ini.
Menara Naik Turun
Kini, kami melangkah ke Masjid Agung Banten, yang sudah berdiri ketika Belanda pertama kali nongol di Banten pada 1596. Terdapat banyak bangunan di dalam kompleks masjid ini seperti makam para sultan, menara masjid, tiyamah (bangunan dua tingkat dengan arsitektur Eropa yang dulu digunakan sebagai tempat kumpul untuk membahas masalah keagamaan dan sosial), kolam wudhu, dan pawestren (bangunan untuk jamaah perempuan), dan istiwa atau jam matahari penunjuk waktu shalat.
Keramaian kompleks masjid sudah terasa di jalan masuknya. Ratusan pedagang membuka lapak sederhana berukuran sekitar 2x2 meter. Mereka menjajakan apa saja, mulai dari perlengkapan shalat, tasbih dengan butiran sebesar telur ayam negeri, Alquran, kaset rohani, VCD musik, pakaian dewasa dan anak-anak, penganan kecil, salak pondoh, hingga aneka cenderamata ala suku asli di Banten, yakni Baduy.
Satu hal lagi tentang suasana Masjid Banten adalah banyaknya pengemis. Mereka berkumpul di pintu masuk kompleks masjid, terutama di pintu kedua. Tua muda, semua lusuh, tumplek blek di lorong jalan masuk masjid. Ada yang sudah terlelap tidur dengan mangkok berisi recehan, ada pula yang masih terjaga sambil menengadah dan bergumam pelan, membaca doa atau meminta sedekah.
Selepas Ashar, aku dan Bayu naik ke menara masjid Banten yang tingginya 23 meter dengan bentuk denah segi delapan. Kami masuk setelah membayar Rp 1.000 per orang kepada penjaga di depan pintu. Tapi sebelum naik, kami diminta menunggu dulu. Si penjaga berteriak ke kawannya yang ada di atas menara,''Naaaiiiikkk.'' Sebaliknya, jika ada orang yang hendak turun, si penjaga akan berteriak,''Tuuuruuun.'' Akhirnya, tahulah kami mengapa harus ada teriakan 'naik-turun' itu.
Penyebabnya adalah, tangga naik ke puncak menara sangat sempit, lebar anak tangganya kurang 50 cm. Tak mungkin untuk dua orang berpapasan di tengah jalan. Salah satu harus mengalah. Sialnya, badanku yang lumayan subur ini terpaksa harus naik dengan cara menyamping karena tak muat. Situasi di dalam badan menara temaram. Hanya ada dua bola lampu yang menerangi jalan. Dari cahaya yang minim itu terlihat banyak sekali coretan orang yang tidak bertanggungjawab mengotori dinding menara.
Menara masjid memiliki dua puncak yang bentuknya makin mengecil. Sampai di puncak pertama, ternyata kami masih harus merogoh kocek lagi agar bisa keluar ke teras puncaknya. Dari teras ini terlihat keindahan alam Banten Lama yang dekat dengan laut. Aku dan Bayu memutuskan naik lagi ke puncak menara. Di puncak ini pun kami harus merogoh kocek untuk bisa keluar ke terasnya. Melihat betapa komersialnya pengelolaan menara, Bayu mengomel. ''Sudah tidak usah bayar!'' katanya padaku. Ia lalu mendekati si penjaga menara dan menegurnya dengan keras. Kamipun bebas keluar teras.
Tak berapa lama di puncak menara, kami akhirnya turun. Tentunya dengan cara yang sama, yaitu harus bergantian menunggu pengunjung naik dan turun. Senja sudah menggantung di langit Banten. Namun, gulungan awan dan langit masih tampak cerah. Para wisatawan pun masih mengalir ke masjid ini. Banten tampaknya meninggalkan kesan di hati mereka. stevy maradona
Keraton 'Air' dan Menara 'Naik-Turun'
Pergi ke Banten Lama berarti menjumpai dua situs terkenalnya yakni Keraton Surosowan dan Masjid Agung Banten.
Udara khas pesisir pantai yang panas dan kering langsung menyengat ketika aku turun dari angkutan kota (angkot) di kawasan Banten Lama (Old Bantam, jika kita merujuk pada sumber-sumber tertulis masa lalu), Serang, Jawa Barat, awal bulan lalu. Matahari tengah berada di puncak siang.
''Belum berubah,'' kataku dalam hati. Terakhir kali aku ke Banten Lama adalah 10 tahun lalu, bersama rombongan Keluarga Mahasiswa Arkeologi (KAMA) Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia. Kala itu, kami mengadakan pelatihan kunjungan situs. Nah, kali ini aku berniat keliling Oud Bantam (biasa disebut dalam buku-buku tua Bahasa Belanda) kembali.
Di dekat tempat pemberhentian angkot, tampak bekas-bekas kemegahan situs Keraton Kaibon. Keraton ini tadinya tempat tinggal ibunda sultan penguasa Banten. Kaibon malah diambil dari kata ka-ibu-an. Keraton ini dibangun semasa pemerintahan Sultan Syafiuddin (sekitar 1809-1815). Gapuranya yang tinggi dan berwarna putih menyembul di tengah-tengah reruntuhan dinding keraton. Salah satu kekhasan gapura di Kaibon adalah bentuknya yang menyerupai sayap bertumpuk-tumpuk. Dan siang itu, Kaibon terasa lengang.
Aku ditemani karibku, arkeolog yang bekerja di salah satu instansi pemerintah di Banten, Bayu Aryanto, untuk pelesiran di situs Banten Lama. Setelah membayar ongkos angkot delapan ribu rupiah untuk dua orang, kami bergegas memasuki pusat Kota Banten Lama yang terletak sekitar lima ratus meter dari pemberhentian tadi. Samar-samar terdengar suara azan Dzuhur berkumandang di sekeliling kami.
Pergi ke Banten Lama berarti menjumpai dua situs terkenalnya, yaitu Keraton Surosowan dan Masjid Agung Banten beserta menaranya. Keraton Surosowan adalah situs yang pertama kali terlihat ketika memasuki kawasan Banten Lama. Dindingnya tinggi, lebih dari dua meter dengan lebar sekitar tujuh meter, berwana cokelat. Sangat kontras dengan bangunan warung dan rumah penduduk di sekitarnya. Asal tahu saja, banyak rumah penduduk di sana yang masih berdinding gedek.
Jangan bayangkan Surosowan layaknya keraton di Jawa Tengah, yaitu Yogyakarta dan Solo. Kita pasti akan kecele. Surosowan tak ada mirip-miripnya dengan dua keraton itu. Ia lebih mirip sebuah benteng Belanda yang kokoh dengan bastion (sudut benteng yang berbentuk intan) di empat sudut bangunannya. Total luas bangunan berdenah persegi panjang ini sekitar tiga hektar, bangunan di dalam dinding keraton tak ada lagi yang utuh. Ia hanya menyisakan runtuhan dinding dan pondasi kamar-kamar berdenah persegi empat yang jumlahnya puluhan.
Sejarah mencatat, nama Keraton Surosowan muncul pada abad ke-17. Namun, sebagai bangunan, Surosowan sudah ada jauh sebelum itu. Pembangunannya melalui beberapa tahap dari 1552-1570, termasuk melibatkan ahli bangunan asal Belanda, yaitu Hendrik Lucaszoon Cardeel. Aku dan Bayu memasuki Surosowan dari pintu utara. Keraton yang didirikan Sultan Maulana Hasanuddin (anak dari Syarif Hidayatullah, tokoh yang mendirikan cikal bakal Jakarta) ini memiliki tiga gerbang masuk, masing-masing terletak di sisi utara, timur, dan selatan. Namun, pintu selatan telah ditutup dengan tembok, entah apa sebabnya.
Bayu menerangkan, hal unik dari gerbang di Surosowan adalah bentuknya yang melengkung dengan atap setengah silinder terbuat dari bata kokoh. ''Apa uniknya? Perasaan kok biasa-biasa saja,'' tanyaku pada dia. Jika kita melihatnya dalam konteks kekinian memang mungkin tak ada yang aneh. Tapi Surosowan adalah bangunan yang didirikan dengan beragam fungsi. Salah satunya adalah benteng. Tujuan didirikan benteng adalah melindungi penghuni dari serangan orang di luar.
Kalau prinsip ini diterapkan ke gerbang melengkung Surosowan memang pas. Sebab, dengan dibuat melengkung, orang luar tidak bisa melihat langsung ke dalam keraton. Pandangannya akan terhalang tembok melengkung itu.
Keraton Air
''Surosowan adalah keraton air,'' celetuk Bayu sambil tertawa, ketika kami sudah memasuki bagian dalam keraton. Pria berkacamata tebal dengan postur sedang dan jenggot kasar ini menunjuk ke bagian tengah keraton. Di sana terlihat sebuah bangunan kolam berisi air berwarna hijau, yang didapat dari pengaruh ganggang dan lumut. Keraton air? Istilah ini menandai banyaknya ruang di dalam keraton yang berhubungan dengan air atau mandi-mandi, alias petirtaan. Salah satu yang terpopuler adalah bekas kolam taman, bernama Bale Kambang Rara Denok, yang ditunjuk Bayu itu.
Kolam Rara Denok berbentuk persegi empat menyerupai setengah lapangan bulutangkis, dengan panjang 30 meter dan lebar 13 meter serta kedalaman kolam 4,5 meter. Di panas terik itu aku membayangkan, dahulu kala para puteri sultan dan dayang-dayangnya dengan hanya mengenakan selembar batik di tubuhnya, mandi dan bermain air di dalam kolam itu. Sementara sang sultan atau pejabat keraton lainnya dengan santai menonton dari atas kolam. Walaah!
Lamunan sekilas itu tiba-tiba buyar, karena datang tiga orang anak kecil, tampaknya penghuni sekitar ke Rara Denok. Tanpa mempedulikan sekitar, mereka langsung membuka pakaian dan byuurr, berenang di kolam yang airnya entah bersih atau tidak itu. Aku dan Bayu tertawa ngakak melihat kepolosan mereka. Masalah air di Surosowan memang sengaja dibuat canggih. Bahkan, kesultanan Banten sengaja memisahkan air untuk keperluan kerajaan dengan air untuk rakyat jelata. Ada dua sumber air di Surosowan yaitu sumur dan Danau Tasikardi yang terletak sekitar dua kilometer di sebelah tenggara Surosowan.
Jangan salah, Tasikardi adalah danau buatan seluas 6,5 hektar dengan pulau di tengahnya. Dasar danaunya dibuat dari ubin bata. Ia dibangun oleh Sultan Maulana Yusuf untuk rekreasi dan ibadah. Tasikardi juga berfungsi sebagai penampung air Sungai Cibanten untuk disalurkan dan dibersihkan sebelum masuk ke Surosowan untuk selanjutnya dipakai mandi dan keperluan sehari-hari.
Proses penjernihannya pun canggih. Sebelum masuk ke Surosowan, air yang kotor dan keruh dari Tasikardi disalurkan dan disaring melalui tiga bangunan bernama Pengindelan Putih, Abang, dan Emas. Di tiap pengindelan ini, air diproses dengan mengendapkan dan menyaring kotoran. Air selanjutnya mengalir ke Surosowan lewat serangkaian pipa panjang yang terbuat dari tanah liat dengan diameter 2-40 cm. Tebak siapa yang punya ide canggih menyaring air ini? Lagi-lagi Cardeel.
Siang itu, banyak orang bercengkerama di dalam Surosowan. Beberapa keluarga dan muda-mudi menggelar tikar di sisi barat keraton, yang dinaungi beberapa pohon rindang. Mereka terlihat menikmati sisa kejayaan Surosowan yang pernah dua kali diluluhlantakkan oleh Belanda, yaitu pada 1680-1863.
Sayangnya di beberapa tempat masih terlihat ceceran sampah. Ada bekas bungkus makanan, botol minuman, juga puntung rokok. Sampah terkumpul di sekitar pohon yang ada di sisi barat keraton, terutama di pojok dinding. Tidak adanya tempat sampah di dalam keraton membuat orang seenaknya saja mengotori bangunan bersejarah ini.
Menara Naik Turun
Kini, kami melangkah ke Masjid Agung Banten, yang sudah berdiri ketika Belanda pertama kali nongol di Banten pada 1596. Terdapat banyak bangunan di dalam kompleks masjid ini seperti makam para sultan, menara masjid, tiyamah (bangunan dua tingkat dengan arsitektur Eropa yang dulu digunakan sebagai tempat kumpul untuk membahas masalah keagamaan dan sosial), kolam wudhu, dan pawestren (bangunan untuk jamaah perempuan), dan istiwa atau jam matahari penunjuk waktu shalat.
Keramaian kompleks masjid sudah terasa di jalan masuknya. Ratusan pedagang membuka lapak sederhana berukuran sekitar 2x2 meter. Mereka menjajakan apa saja, mulai dari perlengkapan shalat, tasbih dengan butiran sebesar telur ayam negeri, Alquran, kaset rohani, VCD musik, pakaian dewasa dan anak-anak, penganan kecil, salak pondoh, hingga aneka cenderamata ala suku asli di Banten, yakni Baduy.
Satu hal lagi tentang suasana Masjid Banten adalah banyaknya pengemis. Mereka berkumpul di pintu masuk kompleks masjid, terutama di pintu kedua. Tua muda, semua lusuh, tumplek blek di lorong jalan masuk masjid. Ada yang sudah terlelap tidur dengan mangkok berisi recehan, ada pula yang masih terjaga sambil menengadah dan bergumam pelan, membaca doa atau meminta sedekah.
Selepas Ashar, aku dan Bayu naik ke menara masjid Banten yang tingginya 23 meter dengan bentuk denah segi delapan. Kami masuk setelah membayar Rp 1.000 per orang kepada penjaga di depan pintu. Tapi sebelum naik, kami diminta menunggu dulu. Si penjaga berteriak ke kawannya yang ada di atas menara,''Naaaiiiikkk.'' Sebaliknya, jika ada orang yang hendak turun, si penjaga akan berteriak,''Tuuuruuun.'' Akhirnya, tahulah kami mengapa harus ada teriakan 'naik-turun' itu.
Penyebabnya adalah, tangga naik ke puncak menara sangat sempit, lebar anak tangganya kurang 50 cm. Tak mungkin untuk dua orang berpapasan di tengah jalan. Salah satu harus mengalah. Sialnya, badanku yang lumayan subur ini terpaksa harus naik dengan cara menyamping karena tak muat. Situasi di dalam badan menara temaram. Hanya ada dua bola lampu yang menerangi jalan. Dari cahaya yang minim itu terlihat banyak sekali coretan orang yang tidak bertanggungjawab mengotori dinding menara.
Menara masjid memiliki dua puncak yang bentuknya makin mengecil. Sampai di puncak pertama, ternyata kami masih harus merogoh kocek lagi agar bisa keluar ke teras puncaknya. Dari teras ini terlihat keindahan alam Banten Lama yang dekat dengan laut. Aku dan Bayu memutuskan naik lagi ke puncak menara. Di puncak ini pun kami harus merogoh kocek untuk bisa keluar ke terasnya. Melihat betapa komersialnya pengelolaan menara, Bayu mengomel. ''Sudah tidak usah bayar!'' katanya padaku. Ia lalu mendekati si penjaga menara dan menegurnya dengan keras. Kamipun bebas keluar teras.
Tak berapa lama di puncak menara, kami akhirnya turun. Tentunya dengan cara yang sama, yaitu harus bergantian menunggu pengunjung naik dan turun. Senja sudah menggantung di langit Banten. Namun, gulungan awan dan langit masih tampak cerah. Para wisatawan pun masih mengalir ke masjid ini. Banten tampaknya meninggalkan kesan di hati mereka. stevy maradona
0 comments:
Post a Comment