Sumur Bor
Duka Si Pengebor Sumur
Cahaya senja tiba-tiba tak nampak oleh matanya. Padahal siang hari-nya ia masih bisa melihat meski kadang remang-remang. Dalam kebingungan ia meraba ke sana kemari. Hatinya makin kecut. Ia tak bisa melihat apa-apa. “Ya Allah, apakah aku akan buta?” ujarnya lirih.
Di atas selembar karpet usang, Sukirno (43) terpekur di kamar kontrakannya yang sempit. Bayangan kebutaan membuat sekujur tubuhnya terasa lemas tak bertulang. Sore itu begitu menakutkan bagi diri-nya. Selama hampir dua jam, kedua belah matanya tak berfungsi.
Dua jam berlalu. Hatinya sedikit lega. Kedua matanya kembali bisa melihat meski samar-samar. Namun kecemasan masih saja mencekamnya. Ia takut kejadian seru-pa akan berulang. Di kontrakannya yang hanya berupa gubuk di pinggir rel kereta api di daerah Pademangan Timur, ia tinggal sendiri. Jika terjadi sesuatu pada dirinya, ia tak tahu harus mengadu ke mana.
Kecemasannya makin memuncak, mengingat gangguan penglihatan memang sudah dialaminya sejak kecil. Sambil menghela nafas panjang, ia menceritakan manis getir hidupnya.
Saat itu, ia baru duduk di kelas satu SD. Biasanya anak seusia dirinya, memiliki penglihatan yang bagus. Namun itu tak berlaku bagi dirinya. Ia tak mampu meli-hat tulisan di papan tulis. Ketika melihat orang ataupun benda di sekitarnya semua terlihat remang-remang. Apalagi bila memandang cahaya matahari, matanya lang-sung berair.
Akibat gangguan penglihatan itu, diri-nya tak bisa menulis dan membaca dengan baik. Walhasil, ia tak naik kelas hingga beberapa kali. Malu dan tak percaya diri menghinggapinya kala itu. Kelemahan mata yang menderanya betul-betul membatasi masa kecilnya untuk bermain, bersosialisasi dan belajar. Hal itu membuatnya memutuskan berhenti sekolah saat kelas 3 SD.
Namun, dalam lubuk hatinya sesungguhnya masih tersimpan hasrat untuk maju. Ia ingin seperti teman-temannya yang lain mampu mengenyam pendidikan dengan baik. Akhirnya ia mencoba bangkit. Ia kembali meneruskan sekolahnya meski dengan keterbatasan. Sayang, keinginan maju itu tak didukung keadaan. Penglihatannya tak kunjung membaik. Ia pun terpaksa menerima keadaan. Dirinya hanya mampu bersekolah hingga kelas 5 SD.
Mau berobat? Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja orangtuanya sering kesulitan. Ibu kandungnya hanyalah tukang jahit kasur. Penghasilannya hanya bergantung pada pesanan pelanggan. Kadang lima ribu perak per hari. Kadang malah tak dapat sama sekali. Sementara ayah tirinya hanya pekerja serabutan. Penghasilannya juga tak menentu.
Keadaan ekonomi ayah kandungnya tak jauh beda. Ia cuma seorang petani miskin. Pun sudah memiliki tanggungan keluarga yang baru.
Kedua orangtua Sukirno kebetulan bercerai saat dirinya masih kanak-kanak. Beberapa tahun setelah perceraian itu, baik ibu maupun ayah kandungnya masing-masing menikah lagi. Sukirno kemudian tinggal bersama ibu kandung dan ayah tirinya.
Saat itu, orangtua Sukirno tak pernah tahu kalau kelainan putranya begitu serius. Sebagai orang desa yang awam terhadap masalah kesehatan, mereka hanya tahu kalau Sukirno menderita rabun senja atau “kotok ayam” dalam bahasa mereka. Ketika itu, Sukirno mau tak mau harus pasrah pada keadaan.
Menginjak remaja, hidup terasa makin berat bagi dirinya. Jika berjalan di malam hari, ia sering menabrak benda-benda di sekitarnya. Bahkan tak jarang kakinya terperosok ke selokan saat ia melintasinya. Hal-hal tersebut membuatnya tumbuh menjadi pemuda pemalu dan minderan.
Namun dalam keterbatasannya ia terus berpikir. Dengan kelemahan penglihatan yang dimilikinya, ia tak mau menjadi beban keluarga. Apalagi ia anak pertama dalam keluarganya. Di pundaknyalah harapan orangtua bergantung.
Dengan modal seadanya, pria kelahiran Tegal, Januari 1964 ini akhirnya nekat ke Jakarta. Kenekatannya bersatu dengan tekad untuk membantu ekonomi keluarga. Sesampainya di Jakarta, uang sakunya ternyata tak cukup untuk menyewa sebuah kamar. Akhirnya menginaplah ia di sebuah bengkel tambal ban.
Tuhan menunjukkan kasih sayangnya malam itu. Seorang pria yang biasa disapa Pak Ilyas, yang diketahui kemudian seo-rang pemilik bengkel reparasi pipa air, dan instalasi ledeng, menghampirinya. Ditawarilah Sukirno pekerjaan.
Ia diajak Pak Ilyas untuk ikut memasang pipa air, memperbaiki keran yang rusak, memasang instalasi ledeng dan membuat sumur bor. Walau bukan pekerjaan besar, Sukirno merasa itulah rezeki yang diberikan Tuhan kepadanya. Pekerjaannya bergantung pada proyek Pak Ilyas. Kalau ada permintaan reparasi, Sukirno dibayar 10-15 ribu rupiah. Namun kalau sedang kosong, ia diberi 3-5 ribu rupiah sebagai ongkos makan.
Dalam kesederhanaan hidupnya kala itu, ia bertemu Sudiarti. Perempuan asal Purbalingga Banyumas, inilah yang kemudian menjadi istrinya. Awalnya Sukirno merasa tak pede saat mendekati Sudiarti. Ia belum punya pekerjaan tetap. Ditambah lagi penglihatannya tak normal. “Apakah ia mau dengan orang seperti aku?” pikir Sukirno cemas.
Namun, alangkah girang hatinya saat cintanya ternyata berbalas. Sudiarti ber-sedia menerima dirinya apa adanya. Merekapun akhirnya menikah dan dikarunia seorang putra. Sukirno merasa bersyukur karena keluarga besar istrinya menerima kelemahan fisiknya.
Usai menikah, Sukirno kembali ke Jakarta. Ia melanjutkan pekerjaannya terda-hulu sebagai tukang reparasi pipa, keran, pemasang instalasi ledeng dan pembuat sumur bor.
Setelah dua tahun mengikuti Pak Ilyas, banyak pelanggan yang kemudian me-manggilnya secara pribadi. Ia tak lagi hanya mengandalkan pemberian proyek dari Pak Ilyas. Meski bergerak di jalur yang sama, Pak Ilyas ikut mendukung. Mulailah Sukirno bekerja secara mandiri.
Untuk setiap kali jasa reparasi pipa atau keran, ia diupah sebesar Rp25 ribu. Sementara untuk membuat sumur bor, jika di rumah warga biasa dirinya mematok harga Rp500-Rp600 ribu. Jika di perusahaan sekitar Rp800-Rp900. Harga tersebut disesuaikan dengan lama kerja dan kedalaman tanah.
Untuk membuat satu sumur bor, Sukirno biasanya dibantu empat pekerja. Tiap pekerja diupahnya sebesar Rp50 ribu per harinya. Mereka juga dijatah satu kali makan siang (jika di rumah warga), dan tiga kali makan (jika di proyek atau perusahaan).
Walau penghasilannya terlihat lumayan, Sukirno pernah merasakan kedukaan dari kerja seperti itu. Jika tanah yang digali tak mengeluarkan air, seringnya ia tak diupah sepeser pun. Padahal dirinya tetap harus memberi makan serta membayar pekerja yang ikut membantunya.
Selain itu, pekerjaan yang kini digelutinya juga sangat bergantung pada panggilan pelanggan. “Kalau ada yang manggil ya kerja. Kalau tidak ada ya nganggur,” ucap Sukirno lirih.
Beberapa bulan lalu, ia bahkan mengaku menunggak bayaran kontrakannya selama dua bulan karena pengeboran sumurnya gagal. Tanah yang digalinya tak mengeluarkan air.
Mukanya terlihat murung. Ia teringat kejadian sore itu, ketika selama dua jam matanya tak mampu melihat. Ia bercerita bahwa keesokan paginya setelah kejadian menakutkan itu, dirinya pergi ke dokter spesialis mata. Ia berharap gangguan mata yang selama ini menghantuinya bisa mendapat kesembuhan.
Namun tubuhnya bagai tersambar petir di siang bolong saat mendengar kete-rangan dokter. “Bapak tidak usah pergi kemana-mana lagi. Ke dokter atau para-normal. Bapak tinggal berdoa saja sama Yang Kuasa,” ucap sang dokter.
Sukirno tersentak. Tubuhnya serasa lumpuh. Terbayang wajah anaknya yang masih duduk di kelas 3 SD. “Anak masih kecil. Rumah belum punya. Kalau saya buta bagaimana? Anak mungkin terlantar,” ucapnya lirih.
Sukirno terpaksa menerima kenyataan hidup teramat berat. Menurut dokter yang memeriksanya, gangguan penglihatan yang selama ini mencengkeramnya, tak mungkin bisa disembuhkan. Karena ada urat saraf pada matanya yang tidak berfungsi.
Kini Sukirno hanya bisa pasrah pada nasibnya. Keinginan untuk memperoleh kehidupan dan kesehatan yang normal merupakan cita-citanya sejak dulu. Na-mun, apa mau dikata nasib berbicara lain. Hanya salat lima waktu dan doalah yang kini jadi usaha kepasrahannya.
»
Cahaya senja tiba-tiba tak nampak oleh matanya. Padahal siang hari-nya ia masih bisa melihat meski kadang remang-remang. Dalam kebingungan ia meraba ke sana kemari. Hatinya makin kecut. Ia tak bisa melihat apa-apa. “Ya Allah, apakah aku akan buta?” ujarnya lirih.
Di atas selembar karpet usang, Sukirno (43) terpekur di kamar kontrakannya yang sempit. Bayangan kebutaan membuat sekujur tubuhnya terasa lemas tak bertulang. Sore itu begitu menakutkan bagi diri-nya. Selama hampir dua jam, kedua belah matanya tak berfungsi.
Dua jam berlalu. Hatinya sedikit lega. Kedua matanya kembali bisa melihat meski samar-samar. Namun kecemasan masih saja mencekamnya. Ia takut kejadian seru-pa akan berulang. Di kontrakannya yang hanya berupa gubuk di pinggir rel kereta api di daerah Pademangan Timur, ia tinggal sendiri. Jika terjadi sesuatu pada dirinya, ia tak tahu harus mengadu ke mana.
Kecemasannya makin memuncak, mengingat gangguan penglihatan memang sudah dialaminya sejak kecil. Sambil menghela nafas panjang, ia menceritakan manis getir hidupnya.
Saat itu, ia baru duduk di kelas satu SD. Biasanya anak seusia dirinya, memiliki penglihatan yang bagus. Namun itu tak berlaku bagi dirinya. Ia tak mampu meli-hat tulisan di papan tulis. Ketika melihat orang ataupun benda di sekitarnya semua terlihat remang-remang. Apalagi bila memandang cahaya matahari, matanya lang-sung berair.
Akibat gangguan penglihatan itu, diri-nya tak bisa menulis dan membaca dengan baik. Walhasil, ia tak naik kelas hingga beberapa kali. Malu dan tak percaya diri menghinggapinya kala itu. Kelemahan mata yang menderanya betul-betul membatasi masa kecilnya untuk bermain, bersosialisasi dan belajar. Hal itu membuatnya memutuskan berhenti sekolah saat kelas 3 SD.
Namun, dalam lubuk hatinya sesungguhnya masih tersimpan hasrat untuk maju. Ia ingin seperti teman-temannya yang lain mampu mengenyam pendidikan dengan baik. Akhirnya ia mencoba bangkit. Ia kembali meneruskan sekolahnya meski dengan keterbatasan. Sayang, keinginan maju itu tak didukung keadaan. Penglihatannya tak kunjung membaik. Ia pun terpaksa menerima keadaan. Dirinya hanya mampu bersekolah hingga kelas 5 SD.
Mau berobat? Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja orangtuanya sering kesulitan. Ibu kandungnya hanyalah tukang jahit kasur. Penghasilannya hanya bergantung pada pesanan pelanggan. Kadang lima ribu perak per hari. Kadang malah tak dapat sama sekali. Sementara ayah tirinya hanya pekerja serabutan. Penghasilannya juga tak menentu.
Keadaan ekonomi ayah kandungnya tak jauh beda. Ia cuma seorang petani miskin. Pun sudah memiliki tanggungan keluarga yang baru.
Kedua orangtua Sukirno kebetulan bercerai saat dirinya masih kanak-kanak. Beberapa tahun setelah perceraian itu, baik ibu maupun ayah kandungnya masing-masing menikah lagi. Sukirno kemudian tinggal bersama ibu kandung dan ayah tirinya.
Saat itu, orangtua Sukirno tak pernah tahu kalau kelainan putranya begitu serius. Sebagai orang desa yang awam terhadap masalah kesehatan, mereka hanya tahu kalau Sukirno menderita rabun senja atau “kotok ayam” dalam bahasa mereka. Ketika itu, Sukirno mau tak mau harus pasrah pada keadaan.
Menginjak remaja, hidup terasa makin berat bagi dirinya. Jika berjalan di malam hari, ia sering menabrak benda-benda di sekitarnya. Bahkan tak jarang kakinya terperosok ke selokan saat ia melintasinya. Hal-hal tersebut membuatnya tumbuh menjadi pemuda pemalu dan minderan.
Namun dalam keterbatasannya ia terus berpikir. Dengan kelemahan penglihatan yang dimilikinya, ia tak mau menjadi beban keluarga. Apalagi ia anak pertama dalam keluarganya. Di pundaknyalah harapan orangtua bergantung.
Dengan modal seadanya, pria kelahiran Tegal, Januari 1964 ini akhirnya nekat ke Jakarta. Kenekatannya bersatu dengan tekad untuk membantu ekonomi keluarga. Sesampainya di Jakarta, uang sakunya ternyata tak cukup untuk menyewa sebuah kamar. Akhirnya menginaplah ia di sebuah bengkel tambal ban.
Tuhan menunjukkan kasih sayangnya malam itu. Seorang pria yang biasa disapa Pak Ilyas, yang diketahui kemudian seo-rang pemilik bengkel reparasi pipa air, dan instalasi ledeng, menghampirinya. Ditawarilah Sukirno pekerjaan.
Ia diajak Pak Ilyas untuk ikut memasang pipa air, memperbaiki keran yang rusak, memasang instalasi ledeng dan membuat sumur bor. Walau bukan pekerjaan besar, Sukirno merasa itulah rezeki yang diberikan Tuhan kepadanya. Pekerjaannya bergantung pada proyek Pak Ilyas. Kalau ada permintaan reparasi, Sukirno dibayar 10-15 ribu rupiah. Namun kalau sedang kosong, ia diberi 3-5 ribu rupiah sebagai ongkos makan.
Dalam kesederhanaan hidupnya kala itu, ia bertemu Sudiarti. Perempuan asal Purbalingga Banyumas, inilah yang kemudian menjadi istrinya. Awalnya Sukirno merasa tak pede saat mendekati Sudiarti. Ia belum punya pekerjaan tetap. Ditambah lagi penglihatannya tak normal. “Apakah ia mau dengan orang seperti aku?” pikir Sukirno cemas.
Namun, alangkah girang hatinya saat cintanya ternyata berbalas. Sudiarti ber-sedia menerima dirinya apa adanya. Merekapun akhirnya menikah dan dikarunia seorang putra. Sukirno merasa bersyukur karena keluarga besar istrinya menerima kelemahan fisiknya.
Usai menikah, Sukirno kembali ke Jakarta. Ia melanjutkan pekerjaannya terda-hulu sebagai tukang reparasi pipa, keran, pemasang instalasi ledeng dan pembuat sumur bor.
Setelah dua tahun mengikuti Pak Ilyas, banyak pelanggan yang kemudian me-manggilnya secara pribadi. Ia tak lagi hanya mengandalkan pemberian proyek dari Pak Ilyas. Meski bergerak di jalur yang sama, Pak Ilyas ikut mendukung. Mulailah Sukirno bekerja secara mandiri.
Untuk setiap kali jasa reparasi pipa atau keran, ia diupah sebesar Rp25 ribu. Sementara untuk membuat sumur bor, jika di rumah warga biasa dirinya mematok harga Rp500-Rp600 ribu. Jika di perusahaan sekitar Rp800-Rp900. Harga tersebut disesuaikan dengan lama kerja dan kedalaman tanah.
Untuk membuat satu sumur bor, Sukirno biasanya dibantu empat pekerja. Tiap pekerja diupahnya sebesar Rp50 ribu per harinya. Mereka juga dijatah satu kali makan siang (jika di rumah warga), dan tiga kali makan (jika di proyek atau perusahaan).
Walau penghasilannya terlihat lumayan, Sukirno pernah merasakan kedukaan dari kerja seperti itu. Jika tanah yang digali tak mengeluarkan air, seringnya ia tak diupah sepeser pun. Padahal dirinya tetap harus memberi makan serta membayar pekerja yang ikut membantunya.
Selain itu, pekerjaan yang kini digelutinya juga sangat bergantung pada panggilan pelanggan. “Kalau ada yang manggil ya kerja. Kalau tidak ada ya nganggur,” ucap Sukirno lirih.
Beberapa bulan lalu, ia bahkan mengaku menunggak bayaran kontrakannya selama dua bulan karena pengeboran sumurnya gagal. Tanah yang digalinya tak mengeluarkan air.
Mukanya terlihat murung. Ia teringat kejadian sore itu, ketika selama dua jam matanya tak mampu melihat. Ia bercerita bahwa keesokan paginya setelah kejadian menakutkan itu, dirinya pergi ke dokter spesialis mata. Ia berharap gangguan mata yang selama ini menghantuinya bisa mendapat kesembuhan.
Namun tubuhnya bagai tersambar petir di siang bolong saat mendengar kete-rangan dokter. “Bapak tidak usah pergi kemana-mana lagi. Ke dokter atau para-normal. Bapak tinggal berdoa saja sama Yang Kuasa,” ucap sang dokter.
Sukirno tersentak. Tubuhnya serasa lumpuh. Terbayang wajah anaknya yang masih duduk di kelas 3 SD. “Anak masih kecil. Rumah belum punya. Kalau saya buta bagaimana? Anak mungkin terlantar,” ucapnya lirih.
Sukirno terpaksa menerima kenyataan hidup teramat berat. Menurut dokter yang memeriksanya, gangguan penglihatan yang selama ini mencengkeramnya, tak mungkin bisa disembuhkan. Karena ada urat saraf pada matanya yang tidak berfungsi.
Kini Sukirno hanya bisa pasrah pada nasibnya. Keinginan untuk memperoleh kehidupan dan kesehatan yang normal merupakan cita-citanya sejak dulu. Na-mun, apa mau dikata nasib berbicara lain. Hanya salat lima waktu dan doalah yang kini jadi usaha kepasrahannya.
»
0 comments:
Post a Comment